“PEMBAHARUAN ISLAM DARI MANA HENDAK KE MANA”

Resensi Buku sebagai tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam (MSI) pada Prodi Pendidikan Agama Islam semester 2 Fakultas Agama Islam Universitas Majalengka

A.   Identitas Buku

Judul                : “Pembaruan Islam Dari Mana dan Hendak ke Mana?”
Penulis             : Abdou Filali Ansary
Penerbit           : PT. Mizan Pustaka Bandung
Tahun               : 2009
Tebal Buku       : 335 halaman
Jenis Kertas     : HVS
ISBN                 : 978-979-433-571-0
Harga Buku      : Rp. 140.000
Toko Buku      : Mizan Media Utama (MMU) Jln. Cinambo No. 146                                     (Cisaranten Wetan) Ujungberung, Bandung 40294

B.     Biografi Penulis

Buku ini ditulis oleh  Abdou Filali-Ansary lahir di London pada tanggal 17 Oktober 1970 beragama Islam. Beliau menyelesaikan studi di Institut Studi Peradaban Muslim (AKU-ISMC) Universitas Aga Khan di London. Beliau juga berprofesi sebagai Profesor riset di Institut Studi Peradaban Muslim. Penulis telah menyelesaikan beberapa karya diantaranya Kebebasan Manusia (Al-Qadli ‘Abd Al-Jabbar), Dalil Rasionalitas Al-Qur’an, Reformasi Islam, Teologi Aplikatif (Berbagai Bacaan Al-Qur’an).

C.   Sinopsis

Memasuki abad ke-21 program pembaharuan Islam yang dimulai pada akhir abad ke-19 dengan Afghani dan Abduh sebagai tokohnya yang paling penting, sudah sayup-sayup terdengar. Berbagai soal yang melilit umat Islam belum baanyak yang terpecahkan, tetapi kemudian dunia digemparkan dengan berbagai kejadian yang menjadi sasaran pemberitaan media massa, terutama pengguanaan kekerasan oleh “para pembela Islam” yang diberitakan dengan sangat massif.

Di sini pembaca akan dibawa ke bengkel kerja pemikiran modern yang mennawarkan deskripsi dan analisis yang berbeda mengenai berbagai soal yang berkaitan dengan pembaruan Islam seperti cara memahami Quran, hubungan antara wilayah politik dan wilayah agama dalam Islam, dan bagaimana menjadi modern tanpa meninggalkan keimanan. Dengan melihat itu barangkali ada bekal yang memadai untuk menjawab pertanyaan di atas dan melanjutkan perjalanan.

D.  Isi Buku

Menjelaskan tentang kontroversi yang menonjol dari pemikirannya adalah “Jadal al-quran al-karim” inti dari gagasan pertama yaitu adalah tidak semua al quran bisa di buktikan sebagai fakta sejarah seperti perumpamaan namun di dalam nya tetap mengandung nilai kebenar (haqq) seperti peringatan, kabar gembira intimidasi dan janji. Inti dari gagasan keduanya yaitu al-quran memiliki tiga macam upaya yaitu yang pertama kisah bercorak sejarah (al-qishshah al-tarikhiyyah) , kedua yaitu kisah bercorak perumpamaan (al-qishshah al-matsliyyah) ketiga yaitu kisah bercorak legenda atau mitos (al-qishshah al-usturiyyah). Inti gagasan ketiga yaitu yang lebih penting untuk di perhatikan dalam kisah al quran yakni peringatan dan pelajaran, selai itu, kisah al quran bukanlah kronologis kisah itu sendiri yang acapkali kita perdebatkan berdasarkan sumber sumber israiliyat yang validitasnya perlu di pertanyakan. (hal. 46)

Menjelaskan tentang kontroversi yang muncul dari pemikirannya adalah perdebatan antara islam yang tercerahkan dan islam obskurantis. Inti dari gagasan pertamanya yaitu jacques berque menjadi saksi dan pelapor dari perselisihan pendapat besar yang tengah menggerogoti masyarakat-masyarakat islam masa kini. Persoalan hakikat dan jangkauan syariah yang merupakan inti dari hukum agama. Perbandingan jumlah antara norma-norma hukum dalam Al-Quran dalam tradisi lain yang berdekatan (Yahudi&Romawi). Inti dari Gagasan keduanya yaitu al-quran jauh dari merupakan alas kokoh yang padanya disandarkan suatu sistem hukum yang lengkap lagi tunggal. Makna bagi hukum islam  adalah sebuah proyeksi dari yang mutlak dan penerapannya merupakan bagian dari kepatuhan kepada yang mutlak itu. Inti dari gagasan ketiganya yaitu betapa pentingnya seruan pada rasionalitas ini. Seruan seruan itu bermacam macam baik seruan agar ditemukan kepadtian metafisik. Mengumpulkan banyak pemikir yang berupaya untuk betul betul memperbarui al-quran. (hal. 58)

Membahas tentang kontroversi yang muncul yaitu tentang pemahaman dasar tentang konsepsi nasionalisme. Inti dari gagasan pertama yaitu pelajaran tentang nasionalisme yang diajarkan kepadanya sulit dipahami bahkan protean dalam manifestasinya jadi harus mengklasifikasikan berbagai gerakan dan ideologi untuk membuat kemajuan dalam memahami fenomena tersebut. Gagasan keduanya yaitu mengajari untuk menghargai realitad sosiologis yabg mendasari nasionalisme terhadap semua orang yang akan memberi bangsa hanya ada dalam imajinadu dan dapat didekonstruksi. Gagasan ketiga yaitu meyakinkan bangsa dan nasionalisme adalah fenomena modern dalam arti ciri curi dasar dunua modern membutuhkan bangsa dan nasionalisme. (hal.70)

Membahas tentang pemikirannya yaitu materialisme dan sosialisme. Inti dari gagasan pertamanya adalah kritik terhadap pandangannya bahwa sejarah itu bersifat bandawi atau materialisme sejarah, kritik terhadap materialisme sejarah identik dengan kritik untuj materialisme yaitu kekuatan produksi dalam masyarakat juga merupakan hasil akal manusia. Masyarakat adalah sebagai ummatan wahidah (masyarakat yang satu), ummatan wasathan (masyarakat pertengahan), ummat muqtashudah (masyarakat terpuji tidak berlebihan), khairi ummah (masyarakat yang baik unggul), baldatun thoyibah (negeri yang musyawarah anti kekerasan). Gagasan ketiganya adalah Menantu nabi usman bin affan adalah seorang pedagang yang kaya raya dan mendermakan kekayaannya untuk perkembangan islam. (hal. 82)

Membahas tentang kontroversi yang muncul dari pemikirannya yaitu islam berhasil menciptakan suatu dasar peradaban kemanusiaan global. Inti dari gagasan pertamanya adalah islam memiliki global dapat diterima dengan setiap ruang dan waktu. Islam seringkali dipandang sebagai agama yang memiliki kesatuan dalam keragamannya (unity in variety). Gagasan keduanya adalah terdapat 3 fenome dalam islam, pertama fenomena islam doktrin (islmaic), kedua fenomena ketika doktrin itu masuk dan berproses dalam sebuah masyarakat kultural (islamicate) dan mewujudkan diri dalam konteks sosial dan kesejarahan tertentu, ketiga ketika islam menjadi sebuah fenomena “dunia islam” yang politis dalam lembaga lembaga kenegaraan (islamdom) yang bertolak “dar al-islam” sebagaimana pula yang terjadi di dunia kristen. Gagasan ketiganya adalah cara pandang yang salah terhadap islam bisa semakin berkurang cara pandang yang menyejajarkan islam dengan teorisme dan gerakan gerakan radikalisme akan semakin terbantahkan. Adanya keragaman praktik keislaman yang disebabkan oleh kultur dan politik menjadi alasan bahwa sesungguhnya islam tidak bisa dipisahkan. (hal. 105)

Kontroversi yang paling menonjol dari pemikirannya adalah dalam bidang politik (pemerintahan). Inti dari gagasannya, pertama menolak sistem khilafah, kedua, alasan perlunya umat Islam membentuk negara, adalah didasarkan pada akal semata yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, bukan didasarkan pada agama. Oleh karena itu, tidak ada sistem tunggal dalam negara Islam, apalagi memiliki justifikasi normatif. Ketiga, pemerintahan dalam pandangan-nya adalah masalah duniawi, bukan urusan agama. Ia berupaya untuk memisahkan urusan agama dengan urusan politik. (hal. 131)

Dalam kasus revolusi di Timur Tengah ini terdapat suatu fenomena menarik, yaitu bahwa teknologi mulai memegang peranan penting dan rakyat, khususnya generasi muda, semakin pandai dalam memanfaatkan teknologi. Dengan masih terus berlangsungnya proses revolusi di Timur Tengah, masih banyak yang bisa diamati dari perkembangan peran pemuda dan teknologi dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Satu catatan penting bisa ditarik dari proses ini: jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, yang baru muncul di abad ke-21, telah mengubah cara-cara perjuangan rakyat yang lebih luas sebagai usaha pemenuhan hak-hak dalam konteks ruang publik, melalui cara-cara baru yang saat ini sulit dibendung oleh pihak mana pun. (hal. 144)

Menurut al Jabiri, epistemologi merupakan kegiatan yang erat kaitannya dengan tindakan kognitif dalam proses kultural yang berupa iktisabu al-ma’rifat (pemerolehan pengetahuan) dan intaju al-ma’rifat (produksi pengetahuan). Adapun instrumen yang digunakan adalah akal al-mukawwin (akal terbentuk), yaitu perangkat nalar yang bersifat kultural yang digunakan untuk mengetahui dan memproduksi pengetahuan. Bersifat kultural disini maksudnya bahwa perangkat nalar dan perilaku atau sikap (yang dihasilkan dari perangkat tersebut) merupakan produk dari pengalaman manusia berinteraksi dengan budaya dan lingkungannya. (hal. 161)

Aziz Al-Azmeh, membahas tentang syari’ah dan kehidupan nyata, peminggiran syari’ah, semangat reformasi kaum Muslim dan ideologi-ideologi eropa, dan pertarungan sekularisme serta reformisme dan kulturalisme di dunia Arab. Beliau mengakui bahwa di balik kemajemukan teori-teori dan sikap-sikap itu, terdapat dua sikap utama yang tidak dapat direduksi, yakni kulturalisme, dalam versinya yang berbeda-beda. Sejarah tidak berpengaruh sama sekali, oleh karena ia hanya melanggengkan keunikan tak tertandingi dari pradigma itu. Sebaliknya, pendukung historisme, yang lebih banyak memperhatikan keragaman masyarakat dan penggambaran, meragukan konsep bahwa paradigma-paradigma terus ada dan tidak dapat direduksi. (hal. 174)

Yadh Ben Achour, membahas tentang bagaimana benturan model-model, suatu masyarakat despotik, serta mengangkat pertanyaan tentang dapatkah kita menjadi orang beriman dan demokrat pada waktu yang sama. Beliau benar-benar bertujuan mereduksi agama menjadi sebuah keyakinan yang dihayati tanpa pretensi untuk mengatur organisasi sosial, jadi ia bertujuan mengakhiri ide bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem global yang membawa kewajiban mutlak bagi orang beriman. (hal. 186)

Mohamed Talbi, membahas tentang kaitanya antara iman dengan keanggotaan, iman dengan sejarah, dan iman dengan dialog. Serta di dalamnya banyak sekali gambaran-gambaran “islamiah” dan beliau memiliki keberanian dan pandangan-pandangan yang tajam, dan mengemabangkan sebuah pandangan Islam yang positif tentang permasalahan-permasalahan yang dialami manusia modern. (hal. 194)

Mohammed Chahrour (Syahrur), membahas tentang daptkah kita bentuk kembali Islam dari dalam. Di dalamnya berisi tentang ilmu dan ketidakberdosaan, Al-Qur’an dan pengertian sejarah, sumber-sumber suatu kekacauan permanen. Menurut beliau, pernyataan-pernyataan yyang telah di cantumkan berguna untuk melawan fundamental-fundamentalisme Islam dan menyenangkan mereka yang mmenolaknya. (hal. 207)

Fazlur Rahman, mebahas tentang antara Iman yang mendalam dan ketajaman pandangan yang kokoh. Beliau adalah salah satu dari banyak pemikir Muslim kontemporer yang megakui secara padu pendekatan Ilmiah modern dan mempertahankan iman secara intensif dan mendalam. Sebenarnya, yang dimaksudkan adalah suatu jenis pengetahuan yang sangat khas, yang berusaha untuk menghindari dua jalan ekstrem yang sama-sama merusak, jalan ekstrem yang menutup diri dalam lingkaran ortodoksi tertutup, yang luput. (hal. 221)

Roy Mottahedeh, beliau mengangkat pertanyaan tentang apakah pembentukan kembali Islam akan datang dari iran. Didalamnya membicarakan tentang apakah masa lampau merupakan kunci bagi masa kini, apakah masa kini merupakan kelanjutan dari masa lampau, apakah perdebatan teologis lebih maju di Iran, apakah harus diterima adanya suatu masyarakat tipe ketiga, serta dapatkah Agama dan Demokarsi dirukunkan.  Dalam alur ini, beliau juga menunjukkan dengan caranya sendiri, bagaimana seseorang kini untuk kembali ke Montesquieu bisa berjati diri Persia, dan bagaimana melakukan hal itu kini. Dengan demikian, beliau menunjukkan bahwa arus kritik terhadap yuridisme yang sangat tua dalam kebudayaan Islam, bisa menjadi lebih dari sekedar suatu suara minoritas dan pinggiran dengan mengingkatkan diri erat-erat pada pemikiran universal zaman kita, ia dapat menyumbang memenangi evolusi masyarakat-masyarakat selatan menuju sistem demokratis yang didasarkan pada konsep-konsep dan praktik yang relevan dan filosofi modern tentang hak-hak asasi manusia. (hal. 241)

Mohamed Charfi, beliau membahas tentang alternatif yang terpercaya, didalamnya membahas tentang pernyataan dan program, kemurtadan sebagai penyimpangan mendasar, sejarah sebagai medan peperangan utama, serta alternatifnya. Beliau menunjukkan bahwa sebuah alternatif nyata, fungsional, lagi menghormati warisan-warisan suci. Dengan ini, kaum Muslim tidak saja punya pilihan antara sebuah model Islam yang membekukan tuanga-tuangan konseptual dan hukum warisan masa lampau dan sebuah model modern yang meminjam solusi-solusi yang diadopsi dari konteks-konteks lain dan mengabaikan konteks keagamaan dan dasar etika masyarakat Islam. (hal. 256)

Talbi mengemukakan pandangannya tentang Al-Quran secara garis besar melalui pendekatan sejarah dan perspektif kemanusiaan. Pendekatannya tersebut ia istilahkan dengan Qiraat al-Tarikhiyyah. Dari berbagai pemaparannya, Talbi menjadikan prinsip-prinsip sejarah dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai panduan dalam memahami al-Quran. Yang kemudian dia sangat memperhatikan Maqasid dari ayat yang ingin ditafsirkan. Dengan menggunakan teori Talbi, diskursus mengenai pemimpin non muslim menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Konteks turunnya ayat (sababun nuzul) dimana ayat yang berbicara tentang pelarangan pemimpin non muslim (q.s. Ali Imran: 28) berbeda dengan konteks historis saat ini. Pandangan yang menolak pemimpin non muslim dirumuskan di saat hubungan antar golongan yang berbeda agama didasarkan pada prinsip konflik. Adapun sekarang, hubungan antar golongan yang berbeda agama didasarkan pada prinsip perdamaian dan persamaan. Maka, pendapat yang paling relevan dan maslahat diterapkan di masa sekarang ini adalah pendapat bahwa non muslim bisa menjadi pemimpin di Negara yang mayoritas muslim. (hal. 289)

E.     Kelebihan Buku

Kelebihan dari buku ini adalah buku ini mencatat tokoh-tokoh islam progresif yang mungkin saja dianggap liberal di zamannya. Buku ini menyoroti bagaimana intelektual muslim membahas permasalahan-permasalahan yang menghadang islam dan dunia islam. Pemakaian Bahasa yang santai namun baku juga memudahkan pemahaman dari materi yang sedang dibahas dalam buku ini. Selain itu dalam buku ini juga tercantum footnote, daftar nama-nama dan catatan. Hal tersebut, menjadi penyempurna dan dapat pula disebut sebagai pelengkap yang bisa memudahkan pembaca untuk memhami buku ini. 

F.     Kekurangan Buku 

Dalam setiap apapun yang berhubungan dengan manusia takan lepas dari suatu salah dan khilap. Maka dari itu, pasti dalam buku ini pun akan terdapat suatu yang dianggap kurang menurut si pembaca. Menrut peresensi, kekurangan yang terdapat dalam buku ini adalah Glosarium. Glosarium ini mencakup penjelasan dari kata-kata isi buku yang mungkin tidak dapat dipahami si pembaca. Yang terdapat dalam buku ini hanya daftar nama-nama dan istilah tanpa penjelasannya. Selain itu, tidak adanya revisi (belum ada) dari buku ini yang diharapkan bisa lebih jauh menjelaskan hal-hal mengenai pembaharuan dalam Islam beserta sejarah pemikiran dan gerakannya dengan menggunakan bahasa yang lebih baku dan jelas lagi. Serta tidak ada biogarfi dari penulis. 

G.    Kesimpulan 

Buku ini menawarkan pemikiran yang melawan arus mayoritas buku yang membicarakan Islam. Buku ini menyoroti bagaimana intelektual Muslim membahas permasalahan-permasalahan yang menghadang Islam dan Dunia Islam. Selain itu, buku ini mencatat tokoh-tokoh pemikir Islam progresif yang mungkin saja dianggap liberal di zamannya, beserta pemikiran dan alirannya, banyak ide yang dipaparkan di dalam buku ini dan tentu saja mendapat banyak tantangan dari pemikir Muslim lainnya. Selain itu buku ini rekomendasikan untuk khalayak umum, khususnya generasi muda di zaman sekarang.

Presensi :

Devi Purnama Sari (21.10.1.0011) Prodi Pendidikan Agama Islam Semester 2 Universitas Majalengka
Siti Maulida (21.10.1.0020) Prodi Pendidikan Agama Islam Semester 2 Universitas Majalengka
Yesi Anggun Susanti (21.10.1.0037) Prodi Pendidikan Agama Islam Semester 2 Universitas Majalengka
 

 

 kontributor : SITI MAULIDA (MAHASISWA)
 

 kontributor : SITI MAULIDA (MAHASISWA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.